October 25, 2020

Seperempat Abad Merayakan Kegagalan

Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Per tahun ini, usia saya menginjak angka ke-25. Wow. Sebentar lagi saya sudah dikategorikan sebagai "orang dewasa". Sebetulnya sih, saya tidak menyetujui konsep bahwa bertambahnya usia juga beriringan dengan kematangan emosional. Sebab, menjadi dewasa adalah sebuah proses belajar yang panjang dan tidak semua orang bisa melaluinya dengan cara yang sama. Toh, setiap orang punya cara bertahan masing-masing kan?


Di usia 20-an, kita sering dihadapkan pada sederet pertanyaan rumit yang seringnya sangat sulit untuk dijawab sendiri. Kita merasa bingung ketika disuguhi dengan segudang pilihan, kita merasa kecil dan rendah diri di hadapan orang lain, kita cemas dengan berbagai persepsi tentang diri kita bahkan mungkin kita merasa ragu untuk apa kita hidup di dunia ini. Suka atau tidak, perasaan-perasaan tersebut kerap menyelimuti diri kita. Terlebih, dengan kehadiran sosial media, segala hal yang dicemaskan semakin terasa lebih nyata.


Entah kenapa, saya tidak peduli-peduli amat dengan gemerlap dunia media sosial. Ada teman menikah, saya ikut bahagia. Ada teman kariernya cemerlang, saya tidak merasa rendah diri. Ada teman hobi liburan sana sini, saya juga tidak nyinyir duitnya dapat dari mana. Ada teman yang good looking, saya juga tidak minder dan membanding-bandingkan diri saya dengannya. Jujur, untuk hal-hal seperti ini saya lebih mampu bersikap bodo amat. 


Hanya ada satu hal yang masih mengusik diri saya: saya ingin sekolah lagi. Setiap kali melihat postingan teman-teman atau kenalan yang kebetulan mengambil gelar master, lebih-lebih di luar negeri, rasanya iri sekali. Sayangnya, meski keinginan sekolah lagi begitu besar, tetapi keadaan lah yang jadi masalahnya. Alhasil, saya hanya bisa meratapi mimpi masa kecil saya: entah kapan keinginan ini akan segera terwujud.


Saya bukannya tidak mau berusaha. Dua tahun belakangan, saya mati-matian belajar demi meraih sertifikasi bahasa yang disyaratkan dalam sebuah beasiswa. Padahal waktu itu, saya sedang bekerja fulltime di ibukota. Saya sedemikian yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, hingga akhirnya saya harus menerima kenyataan: saya gagal dalam ujian.


Mungkin saat itu Dewi Fortuna sedang tidak bersahabat dengan saya. Saat masih berusaha move on dari kegagalan dan memantapkan diri untuk mencoba tes lagi, saya kembali harus menata diri. Tak lama setelah pengumuman kegagalan, saya mendapat kabar buruk yang kedua: kantor tempat saya berkarya bangkrut dan saya otomatis kehilangan pekerjaan.


Dunia rasanya hendak runtuh. Segala rencana yang telah disusun matang-matang menjadi berantakan. Akibatnya, saya jadi terlalu takut untuk menumbuhkan harapan. Apalagi sejak tinggal jauh dari orang-orang tersayang, membuat saya kian merasa kesepian.


Memang tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan baru. Pun pada akhirnya, saya juga kembali ke rumah dan bisa bertemu dengan orang-orang tersayang. Namun, rasanya saya masih takut menghadapi kegagalan. Saya makin menunda-nunda belajar, tidak berusaha menyempatkan waktu untuk mengejar beasiswa kembali atau sekadar mencari tahu informasi bidang studi yang hendak saya geluti. Saya lebih memilih untuk menyibukkan diri dalam pekerjaan, meski diam-diam saya semakin iri ketika melihat postingan teman-teman yang berangkat untuk bersekolah master di luar negeri.


Seiring dengan berjalannya waktu, pelan-pelan saya mulai menyadari: mungkin ini hanya soal waktu saja. Hingga akhirnya, saya mulai menikmati perjalanan karier saya dan bersemangat mengerjakan beberapa project yang akan menjadi portfolio. Di waktu yang sama, saya juga merencanakan kapan diri ini mesti rehat sejenak untuk fokus dengan rencana studi lanjut.


Sayangnya, rencana A-Z yang sudah saya susun rapi tiba-tiba berantakan kembali. Apalagi ketika dunia sedang tidak baik-baik saja. Saya sempat berpikir bahwa 2019 adalah tahun paling berat mengingat saya harus memulai segalanya dari awal lagi. Nyatanya, 2020 justru menjadi tahun paling emosional bagi saya. Lagi-lagi saya kehilangan pekerjaan, di saat kabar buruk terus-terusan berdatangan.


Awalnya, saya memang bisa memahami bahwa keadaan sedang sulit bagi semuanya. Saya bisa mengerti kenapa saya yang kena apes, tetapi entah kenapa kenyataan ini tetap membuat shock berhari-hari. Apalagi ketika mendengar rumor yang beredar, saya jadi semakin overthinking. Setelah menghabiskan waktu dengan merenung (dan sesekali menyalahkan nasib), saya  mulai menyadari bahwa mungkin perasaan ini hadir karena sebenarnya saya masih menggantungkan harapan padanya hingga beberapa tahun ke depan. Namun, kini saya terpaksa memulai segalanya dari nol kembali.


Sebetulnya, di usia menjelang seperempat abad ini, saya sudah mulai merasa lelah (kalau tidak bisa dibilang jenuh) jika harus memulai lembaran baru. Saya lelah jika harus berdaptasi lagi di lingkungan yang baru. Rasanya, saya ingin berhenti saja dan mejelajahi ruang waktu yang lalu. Namun, kenyataan lagi-lagi membuat isi hati saya membisu: saya tetap harus melanjutkan hidup entah bagaimanapun caranya.


Saya cukup beruntung bisa melalui masa-masa sulit dengan dukungan dan support dari orang-orang tersayang. Apalagi saya masih kurang bisa bersikap terbuka dengan mereka. Namun berkat kehadiran mereka, saya berhasil melewati masa tidak mengenakkan ini dengan lapang dada.


Bagi orang yang tidak terbiasa gagal, mungkin kegagalan bisa jadi terasa sangat menyakitkan. Ada yang merasa terpuruk hingga kesulitan untuk bangkit kembali. Ada yang overthinking dan mulai mengutuki nasib seolah-olah semua terjadi karena kelalaikan sendiri. Atau kadang-kadang malah menyangkal kegagalan yang dialami, lantas berpura-pura bahwa ia sedang baik-baik saja. Padahal tidak semua hal selalu berjalan sesuai rencana kan?


Karena pengalaman tidak mengenakkan inilah, saya jadi belajar banyak hal. Pertama, seberapa keras usaha yang dilakukan terkadang memang tidak selaras dengan hasilnya. Kedua, tidak masalah jika hendak merencanakan sesuatu namun tidak perlu ikut meninggikan ekspektasi. Ketiga, tidak ada yang salah jika sampai saat ini belum jadi "apa-apa" karena setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Mungkin ketiga hal ini bisa jadi hanya berlaku bagi saya saja, tetapi percayalah selalu ada hikmah di setiap kegagalan. 

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Commencez à taper et appuyez sur Entrée pour rechercher