Photo de Deden Dicky Ramdhani provenant de Pexels |
Banyak orang bertanya kepada saya, kenapa À la recherche du temps perdu menjadi nama blog saya? Pertanyaan ini seketika membuat saya kembali bertanya-tanya kepada diri saya sendiri, kenapa saya begitu mengagumi novel karangan Marcel Proust ini? Hal memorable apa yang saya dapatkan hingga judul novelnya sampai saya jadikan judul blog—dan oleh sebab itu, saya menjadi giat menulis karenanya?
Sejujurnya, saya memang tidak pernah membaca novelnya secara utuh dan tuntas. Selain karena jumlah halamannya yang fantastis, yaitu 4000 halaman, bahasa Prancis saya pas-pasan. Cukup bagi saya untuk sedikit memahami isinya hanya dengan berbekal review atau resensi yang pernah dimuat di jurnal maupun media.
Setidaknya saya tahu bahwa keputusan menggunakan judul ini sebagai judul blog bukan keputusan yang salah.
Di Balik À la recherche du temps perdu
À la recherche du temps perdu sebetulnya adalah novel bikinan Marcel Proust (1913-1927), seorang sastrawan asal Prancis. Terjemahan bahasa Inggrisnya adalah In Search of Lost Time atau Mencari Waktu yang Hilang dalam bahasa Indonesia.
Novel ini sangat fenomenal. Selain memecahkan rekor sebagai naskah terpanjang di dunia sastra (terdiri dari 7 volume dengan rincian 1.267.069 kata dan menggunakan sekitar 9.609.000 karakter termasuk spasi, —red), karya ini menganut gaya sastra baru dengan tidak membatasi pada ruang dan waktu. Beberapa hal yang paling menonjol dari karya ini adalah narasinya tidak dibangun secara runtut dan tema bahasannya mengandung memori yang tidak disengaja, yang dalam istilah psikolog disebut sebagai involuntary memory.
Salah satu cerita paling terkenal—dan paling berkesan bagi saya—adalah kisah tentang madeleine yang ada pada volume pertama, Du côté de chez Swann.
Sumber: Amazon |
Saya jadi teringat cerita-cerita yang disampaikan dosen sastra ketika mendengar sebuah madeleine.
Madeleine sendiri adalah kue tradisional Prancis. Sekilas bentuknya mirip sekali dengan kue klemben asal Indonesia dan menyerupai kerang. Bahan dasarnya adalah tepung gandum, gula, dan telur. Teksturnya renyah dan mudah larut jika dicelupkan ke dalam air.
Alkisah, Proust sedang berkunjung ke rumah ibunya setelah menjalani hari yang melelahkan. Oleh ibunya, ia dihidangkan secangkir teh hangat dengan madeleine. Proust pun meminum teh itu lantas memakan madeleine setelah sebelumnya dicelup teh hangat. Aroma teh bercampur dengan madeleine membuatnya teringat memori-memori lama yang telah hilang karena dimakan waktu dan usia. Penjelasan singkatnya, Proust sedang bernostalgia.
Beberapa dari kita, mungkin, pernah mengalami hal yang sama dengan Proust. Ketika berada di suatu tempat atau melihat sebuah barang, kadang-kadang kita teringat akan memori yang pernah kita lewati bersamanya. Entah kenapa mengingat memori masa lalu justru sering dialami ketika kita beranjak dewasa dan menua.
Sumber: Epicurious |
Proust yang triggered setelah menikmati madeleine setengah basah pun mendeskripsikan perasannya seperti ini.
"Mais à l’instant même où la gorgée mêlée des miettes du gâteau toucha mon palais, je tressaillis, attentif à ce qui se passait d’extraordinaire en moi. Un plaisir délicieux m’avait envahi, isolé, sans la notion de sa cause. Il m’avait aussitôt rendu les vicissitudes de la vie indifférentes, ses désastres inoffensifs, sa brièveté illusoire, de la même façon qu’opère l’amour, en me remplissant d’une essence précieuse: ou plutôt cette essence n’était pas en moi, elle était moi.""Tak lama setelah teh hangat yang bercampur dengan remah-remah itu menyentuh langit-langit mulutku, aku bergidik dan terdiam sejenak, terasa ada hal luar biasa yang terjadi padaku. Suatu kegembiraan yang luar biasa telah menyerbu panca inderaku, sesuatu yang terisolasi, terpisah, tanpa tahu dari mana datangnya. Semua terjadi sekaligus, mengubah hidupku—yang tak mau peduli, yang kekacauannya tak berbahaya, yang ilusif dan sementara—lewat cara yang sama seperti cinta bekerja menuangi hidupku dengan esensi berharga; atau tepatnya, esensi itu bukan ada dalam diriku, tapi akulah esensi itu sendiri."
Saking terkenalnya, cerita madeleine ini kemudian disebut sebagai l’universe dans une tasse de thé yang berarti "dunia dalam secangkir teh" dan membuat Marcel Proust menjadi sangat mahsyur. Bahkan orang-orang Prancis pun menyebut kue ini sebagai madeleine de proust.
Tentang Menghargai Hidup
Saya sepakat dengan kata-kata panutan saya, Pramoedya Ananta Toer bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,”. Dengan menulis, saya tidak hanya menciptakan dunia dunia melalui memori dalam sebuah tulisan, tapi saya juga sedang mengukir kenangan untuk diri saya sendiri. Terlepas apakah kenangan itu baik atau buruk, menulis membuat saya merasa lebih menghargai proses hidup yang telah saya jalani.
Saya percaya, menulis tidak hanya untuk menyembuhkan luka, melainkan juga sebagai sarana untuk kembali bangkit seperti sedia kala. Mengenang segala cerita hingga bernostalgia dalam kata-kata, membuat hidup saya terasa lebih damai dan bahagia.
Saya berharap, tulisan-tulisan dalam blog ini, bisa menjadi inspirasi untuk kamu semuanya. 😊
Post a Comment