October 25, 2018

Imaji-Imaji Liar dalam Cinta Tak Ada Mati


Setelah sebelumnya puas membaca Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta dalam Mimpi, kali ini saya kembali berkutat dengan kumpulan cerpen lainnya yang menimbulkan rasa penasaran. Kira-kira Eka Kurniawan akan memberi kejutan apa lagi ya?

Saya suka sekali dengan tulisan-tulisan Eka. Terlepas dari reputasinya yang merupakan novelis hits seantero jagad, Eka punya gaya tulisan yang menurut saya unik. Dan rasanya, belum ada penulis lain yang bakalnya "meniru" gayanya.

Total cerita dalam kumcer (kumpulan cerita) berjudul Cinta Tak Ada Mati ini ada 13 cerita yang sebelumnya telah diterbitkan di media cetak maupun daring. Kebetulan kumcer yang saya miliki adalah versi terbaru yang menggunakan desain Eko Nugroho, seorang seniman asal Jogja yang juga hits di kalangan internasional. Adapun ke-13 cerita tersebut adalah Kutukan Dapur (2003), Lesung Pipit (2004), Cinta Tak Ada Mati (2003), Persekot (2017), Surau (2004), Mata Gelap (2002), Ajal Sang Bayangan (2004), Penjaga Malam (2004), Caronang (2005), Bau Busuk (2002), Pengakoean Seorang Pemadat Indis (2005), Jimat Sero (2009), dan Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2011).

Saya akui, imajinasi Eka memang keterlaluan liarnya. Coba saja baca Caronang (hal. 105). Dalam cerita, caronang didefinisikan sebagai makhluk yang masih satu famili dengan anjing. Tubuhnya lebih kecil, seukuran pudel tetapi kalau ia berdiri tegak maka akan terlihat anatomi tubuhnya yang memungkin dirinya berjalan dengan dua kaki. Menurut buku Flora dan Fauna Jawa Masa Lalu, caronang yang mempunyai nama Latin Lupus erectus dikatakan sudah lebih dulu punah dari harimau jawa.

Namun, tetap saja saya masih belum mengerti. Apa sih caronang itu??? Dan bagaimana bentuknya???
Akhirnya setelah bertanya kepada mbah Google, saya bisa mendapatkan gambar berikut yang mungkin cukup mendefinisikan wujud caronang.

Pict by: deviantart

Meskipun dalam cerita disebutkan bahwa habitat caronang berada di delta-delta Sagara Anakan, daerah Cilacap, akan tetapi rupanya tak ada cukup data untuk memverifikasi informasi tersebut. Entahlah, saya bahkan bingung apakah caronang ini betul-betul fakta ataukah hanya fiksi belaka?

Cukup sudah, saya pun memutuskan berhenti mencari tau apa-itu-caronang. Saya justru merasa kasihan—bahkan mungkin juga prihatin—dengan nasib tokoh Aku.

Diceritakan, Aku memelihara caronang yang diambilnya diam-diam bersama Don Jarot. Ia tahu bahwa caronang bukanlah binatang biasa; ia super cerdas sehingga cepat sekali meniru apa yang diajarkan olehnya. Namun tragis, caronang lah yang memunculkan petaka di dalam rumah Aku. Suatu hari, caronang menarik pelatuk pistolnya, menembaknya dua kali ke Baby, anaknya, hingga ia tewas seketika. Dan betapa tololnya Aku, alih-alih mengaku bahwa dalang pembunuhan tersebut adalah caronang, ia justru membuat "pengakuan dosa" bahwa ia sendirilah yang membunuh anaknya.
Entah apa maksud Eka membuat akhir cerita demikian. Mungkinkah cerita ini sebagai sindiran kepada orang-orang yang kerap menyembunyikan abnormalitas? Atau bisa saya katakan, menyembunyikan ketidaknormalan? Entahlah.

Cerita lain yang tidak kalah menarik perhatian saya adalah Surau (hal. 67).  Dari ke-13 cerita yang disuguhnya, menurut saya cerita ini yang paling emosional. Diceritakan adalah Aku yang sedang berteduh di surau karena hujan deras, sementara ia tidak membawa payung. Dari luar surau, ia melihat Ma Soma, guru ngajinya, hendak bersiap menunaikan salat. Melihat itu, batinnya pun bergejolak. Ada rasa malu dan sungkan karena hanya "numpang" berteduh padahal adzan ashar baru saja berkumandang. Di satu sisi, ia ingin membuka sepatu, mengambil wudhu lalu mendirikan salat. Hal itu semata-mata dirasakannya karena merasa segan kepada guru ngajinya itu. Namun di sisi lain, ia juga ragu karena sudah lama sekali tidak melakukan salat.

Bagi saya, cerita ini bisa jadi sebuah sindirian diri saya sendiri. Sudahkah saya menunaikan salat karena betul-betul ingin atau hanya merasa segan kepada seseorang?

Yang tidak kalah menggelitik, tokoh Aku diceritakan sering dipukuli ayahnya dengan mistar kayu apabila ia tidak menunaikan salat di surau. Namun, setelah dewasa ketika ia mulai coba-coba tinggalkan salat, ternyata mistar itu tidak pernah membuat kakinya perih lagi. Bukankah demikian juga sebuah sindiran bahwa kewajiban-kewajiban agama yang seringkali diajarkan dengan "kekerasan" justru tidak membuahkan hasil?

Selain sindiran, Eka rupanya juga jeli memainkan satire yang terlihat dalam cerita Bau Busuk (hal. 114). Dalam cerita tersebut, dikisahkan tentang bau busuk yang menyelimuti kota Halimunda. Namun yang mengherankan, penduduk di sana seolah tidak terkejut dengan bau yang muncul dari mayat-mayat orang yang dicap sebagai komunis. Mereka tetap bisa beraktivitas, bisa mandi meski airnya ikut tercemar bau, tetap makan meski lalat hijau mengerubungi makanannya bahkan tetap bisa berpesta meski mayat-mayat bergelimpangan di jalanan. Bahkan anak-anak kecil kerap menggunakan kepala sang mayat sebagai bola sepak! Buset!

Sebagaimana cerita-cerita satire lainnya, tentu ada beberapa poin "penting" yang hendak disampaikan oleh Eka. Asumsi saya sih, Eka hendak menyindir orang-orang yang terlampau tidak peduli bahkan bodo amat dengan hal-hal tidak baik yang seringkali terjadi. Contohnya, sikap koruptif yang terjadi di sekitar kita. Nggak usah jauh-jauh deh. Dulu pas kecil, kalo disuruh emak beli gula di warung depan, kadang-kadang uang kembaliannya ditilep buat jajan kan? Hayolooo ngaku deh siapa yang pernah begini?

Saya rasa menjadikan Cinta Tak Ada Mati sebagai judul antologi ini adalah keputusan yang tepat. Tak hanya karena menjadi cerita terpanjang dalam buku, melainkan isi ceritanya juga sangaaat eraat dengan kehidupan. Bagian ini mengisahkan cinta Mardio yang tak lekang oleh waktu kepada Melatie. Sayangnya, cinta itu tidak berbalas bahkan kerap mengalami penolakan yang menyakitkan. Tapi bukan Mardio jika menyerah. Ia bahkan nekat melakukan hal-hal "ajaib" demi cintanya kepada Melatie.

Dan lagi-lagi logika saya dicampuradukkan dengan tingkah Mardio. Yakali kuat banget mendam cinta selama 74 tahun?????
So far, kumcer ini menjadi salah satu favorit saya. Gaya berceritanya khas Eka banget dan erat dengan kehidupan kita. Eka selalu bisa memberi kejutan yang tak disangka-sangka!

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Commencez à taper et appuyez sur Entrée pour rechercher