April 6, 2017

Mempertanyakan Kembali Makna Toleransi di Jogja

Pict by: Wikimedia

Selama ini Yogyakarta dikenal sebagai kota yang ramah dan menjunjung tinggi toleransi. Namun kini, kata toleransi seolah memudar. Sebab, Yogyakarta ternyata juga menyimpan kisah radikalisme dan intoleransi yang makin lama makin meresahkan.


Slogan Yogyakarta sebagai The City of Tolerance sepertinya perlu ditinjau ulang. Menurut data yang dihimpun oleh The Wahid Institut pada tahun 2014 silam, Yogyakarta menduduki peringkat kedua sebagai kota tidak toleran setelah Jawa Barat. Dari 54 kasus intoleransi yang tercatat, setidaknya ada 21 peristiwa terjadi di kota pelajar tersebut. 

Deretan kasus intoleransi

Rasanya tak salah jika mempertanyakan kembali makna toleransi yang disandang oleh Yogyakarta. Meskipun tingkat kekerasan di Yogyakarta relatif lebih kecil dibandingkan daerah lain, akan tetapi kasus intoleransi tidak boleh dibiarkan begitu saja. Apalagi selama tiga tahun terakhir, intoleransi berbasis agama justru meningkat di kota yang terkenal dengan keramahannya ini.

Februari 2016, pesantren waria Al-Fatah di Desa Jagalan, Banguntapan Bantul ditutup setelah diancam akan disegel oleh sekelompok orang yang mengaku bagian dari Front Jihad Islam (FJI). Dilansir dari situs daring BBC Indonesia, Camat Banguntapan, Jati Bayubroto mengatakan kalau penutupan tersebut dilakukan karena pesantren tidak memiliki izin dan bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Selain itu, kabarnya juga pernah ditemukan miras di lokasi tersebut. Meskipun hingga ini pengelola pesantren tidak mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi hal tersebut.

Lalu, pada awal April 2016, acara Lady Fast yang digagas oleh komunitas perempuan Kolektif Betina juga dibubarkan secara paksa oleh ormas yang mengaku berasal dari Forum Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam (FJI) karena dianggap tidak memiliki izin. Acara yang diselenggarakan di ruang komunitas seni SURVIVE! Garage sebetulnya berisi diskusi dan seminar mengenai isu perempuan dan gender, pameran karya seni kreatif dan dilanjutkan oleh hiburan musik. Namun, acara ini dianggap “menyesatkan” karena penampilan para peserta perempuan yang dianggap urakan dan liyan.

Dilansir dari situs daring CNN Indonesia dan BBC Indonesia, pihak penyelenggara Lady Fast sudah mencoba untuk berdialog dengan pihak ormas, tetapi tidak membuahkan hasil. Alih-alih diselesaikan secara kekeluargaan, kelompok tersebut justru melontarkan kata makian dan hinaan kepada peserta yang mayoritas adalah perempuan. Hal ini membuat beberapa peserta merasa ketakutan. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang membawa anak-anak sehingga mereka pun harus keluar dari ruangan.

Di lain waktu, tepatnya pada 3 Mei 2016, peringatan World Press Freedom Day (WPFD) 2016 atau Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diselenggarakan di Yogyakarta pun turut mendapat pertentangan dari pihak intoleran. Saat itu, sejumlah jurnalis dan masyarakat sipil hendak menyaksikan pemutaran film Pulau Buru: Tanah Air Beta di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta yang terletak di Jalan Pakel Baru, Umbulharjo, Yogyakarta.

Namun, perhelatan ini dihentikan oleh petugas dari Polresta Yogyakarta. Tak lama, ormas yang diduga dari Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan (FKPPI) pun menyusul mendatangi sekretariat AJI Yogyakarta dan meminta acara dibubarkan. Dilansir dari situs daring Rappler, Kasintelkam Polresta Kota Yogyakarta, Kompol Sigit Haryadi, mengatakan bahwa pihaknya membubarkan acara tersebut dengan alasan belum memiliki izin. Selain itu, pihaknya juga khawatir kalau materi film yang disampaikan berpotensi memicu konflik.

Hal yang sama juga pernah terjadi saat pemutaran film Senyap pada 11 Maret 2016 di FISIPOL UGM. Film yang berkisah mengenai pembunuhan masa 1965 itu dihentikan secara paksa oleh sejumlah ormas di Yogyakarta. Menurut Rochimawati, Sekretaris AJI Yogyakarta yang juga menjadi saksi mata pembubaran film tersebut, setidaknya ada 20 orang datang sambil berteriak-teriak, meminta agar film tidak ditayangkan kembali.

Kemudian, pada 7 Desember 2016, media sosial juga sempat dihebohkan dengan aksi pencopotan baliho baliho penerimaan mahasiswa baru di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Pencopotan ini dilatarbelakang oleh sikap keberatan dari ormas yang menyatakan dirinya sebagai Forum Umat Islam (FUI). Menurut FUI, baliho yang memuat gambar mahasiswi UKDW berjilbab itu harus dicopot karena menyesatkan dan dapat menimbulkan multitafsir. Tak ingin memperkeruh suasana, pihak UKDW yang diwakili oleh Henry Feriyadi (rektor, -red) pun memutuskan untuk mencopot baliho tersebut.

Menurut Henry, perempuan berjilbab dalam baliho tersebut memang benar-benar mahasiswi universitas yang dipimpinnya. Pihaknya juga mengakui bahwa, di UKDW, 7% dari 3.800 mahasiswanya adalah Muslim. Pihaknya juga tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap mahasiswa Muslim. Justru, dengan baliho tersebut, ia ingin menggambarkan dinamika dan kehidupan multikultur yang ada di kampus.

Terakhir, kasus intoleransi kembali terjadi di awal tahun 2017. Kali ini sejumlah warga yang mengaku perwakilan dari masyarakat Pajangan, Bantul mendatangi Bupati Bantul, Suharsono. Mereka meminta agar Camat Pajangan yang baru, yaitu Yulius Suharta diganti. Alasannya karena ‘kebanyakan’ masyarakat keberatan karena Yulius beragama Katolik. Sehingga, pengangkatannya sebagai camat tidak merepresentasikan karakter masyarakat Pajangan yang mayoritas adalah Muslim.

Meskipun demikian, Suharsono tetap mempertahankan Yulius sebagai Camat Pajangan. Ia mengaku kalau sebelum menetapkan Yulius pada Desember 2016, dirinya sudah melakukan penilaian dan pengujian yang dibarengi dengan tes psikologi. Pun yang bersangkutan juga lolos uji kelayakan. "Jadi saya tidak ngawur, sudah sesuai prosedur," imbuhnya, dikutip dari laman BBC Indonesia.

Paradoks makna toleransi

Menyandang predikat sebagai The City of Tolerance tentu bukan hal yang mudah. Apalagi selama ini Yogyakarta dikenal sebagai tempat pertemuan beragam suku dan agama yang di Indonesia. Sehingga, tentunya dibutuhkan peran serta masyarakat untuk menciptakan suasana yang aman dan damai, tanpa perlu membeda-bedakan latar belakang seseorang.

Pada prinsipnya, toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berbeda atau tidak diterima oleh mayoritas masyakarat. Dalam lingkungan plural, toleransi menjadi sebuah kebutuhan dasar. Apalagi jika keragaman itu memang menjadi cara pandang hidup dari masing-masing anggota masyakarat.

Kasus-kasus intoleransi di Yogyakarta hanyalah secuil dari banyaknya isu intoleransi di Indonesia. Banyaknya persoalan tersebut juga menjadi bukti nyata kalau sebagian pihak masih keliru memahami makna toleransi dan menyikapi keberagaman di masyarakat. Seolah-olah toleransi dimaksudkan agar keberagaman yang ada menjadi “satu”. Dengan kata lain, menyamakan semua perbedaan menjadi satu untuk mewujudkan kehidupan yang toleran.

Padahal, upaya tersebut termasuk dalam self-paradox atau sikap yang kontradiktif pada diri sendiri. Bagaimana mungkin keragaman dapat disamakan? Bagaimana mungkin keyakinan seorang, katakanlah, Muslim dipaksakan untuk menyamakan keyakinan seorang penganut Kristen atau Katolik?

Sesungguhnya, toleransi adalah menerima eksistensi dan “keyakinan” orang lain. Meskipun demikian, bersikap toleran tidak serta merta harus mengikuti ataupun mengamalkan perbedaan yang ada di masyarakat. Cukuplah toleransi dimaknai sebagai upaya penerimaan perbedaan dan tidak memaksakan apa yang dianggap benar kepada perbedaan itu sendiri.

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Commencez à taper et appuyez sur Entrée pour rechercher