January 20, 2017

Perjalanan Singkat di Kota Pempek

Gambar: dok. pribadi 

Saya jadi teringat, lima tahun lalu, saya yang belum pernah pergi jauh sendirian, akhirnya bisa menginjakkan kaki di tanah Palembang. Ya, sekitar 1.122 km dari kampung halaman saya di Kota Gudeg.

Kala itu –betapa beruntungnya saya– tengah mengikuti program pertukaran pelajaran yang diinisiasi oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Bersama ke-39 siswa SMA dan SMK lainnya, kami diberi amanah untuk belajar di dua daerah di Sumatra Selatan, yaitu Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Ilir.

Selama kurang lebih satu bulan, saya ditempatkan di Kota Palembang. Beruntungnya, saya juga berkesempatan untuk sekolah di salah satu SMA favorit di sana. SMA Plus Negeri 17 Palembang.
Senangnya!

Selama di Palembang, saya tinggal bersama keluarga Bapak Mulyadi Mustofa dan Ibu Sidaryati di daerah Lebong Siarang. Bapak dan Ibu memiliki dua putra dan dua putri, salah satunya adalah Anita Agustria yang nantinya juga akan menjadi teman sekelas saya selama di sekolah. Keluarga angkat atau host-family saya sangat baik. Saya malah jadi sungkan di sini. Makan saja menunggu kalau disuruh. Hehe. Dasar wong Jowo. Pakewuh, kata sesepuh.

Pada hari pertama sekolah, saya cukup takjub karena ternyata suasananya berbeda sekali dengan di Jogja. Di sana, murid-murid hanya diperkenankan memakai sepatu pantofel. Jika, ingin memasuki kelas atau ruangan manapun, maka sepatu harus dilepas. 

Wah, tahu gitu bawa pantofel aja ya, sesal saya.
Ya, saat itu saya memang hanya membawa sepasang sepatu sneakers hitam. Tak ada sepatu lain, selain sandal Crocs berwarna biru. Masa saya mesti memakainya ke sekolah?

Di sekolah ini, semuanya sarat dengan kedisiplinan. Misalnya saja, para siswa diwajibkan berpotongan cepak. Ukurannya, mungkin, 121. Seperti di sekolah militer saja, batin saya.
Seragam pun tak kalah menarik untuk dibahas. Para siswi, utamanya yang tidak berkerudung, harus memakai rok 7/8 atau yang berada di bawah lutut namun masih di atas mata kaki.
Lagi-lagi, saya merasa "salah kostum". Bagaimana tidak, saat itu saya hanya membawa dua rok abu-abu pendek selutut. Itupun dipakai secara bergantian.

Setiap hari Senin, Rabu dan Kamis, seragam yang digunakan adalah putih abu-abu. Khusus hari Selasa, memakai seragam identitas yang berwarna hijau. Jumat memakai seragam batik dan Sabtu memakai seragam pramuka. Nah, pada hari Sabtu inilah para siswa dan siswi diperkenankan memakai sepatu bebas a.k.a bukan pantofel.

Sekolah ini menerapkan sistem moving class. Kegiatan belajar-mengajar dimulai pukul 06.45 hingga 16.00 WIB dengan dua kali waktu istirahat, yaitu pada pukul 10.15-10.30 dan 12.30-13.30. Karena menggunakan sistem five days shcool, maka setiap hari Sabtu digunakan untuk kegiatan pengembangan diri.

Beda sekali dengan suasana di Jogja!

Umumnya, di Jogja, kegiatan belajar-mengajar dimulai pukul 07.00-14.00. Tapi untunglah, karena sekolah saya terletak di daerah yang padat anak sekolahan, sehingga kegiatan belajar-mengajar dimulai pada pukul 07.15-14.00. Namanya anak sekolah ya, masih ada saja yang terlambat. Menariknya lagi, kaum-kaum kesiangan ini baru diperbolehkan masuk saat pukul 08.00.
Terus, mereka nunggu di mana dong? Ya, di luar gerbang sekolah.

Ih, pasti malu banget nunggu di luar. Jalanan rame gitu, begitu pikir saya.

Untuk seragam, setiap hari Senin-Kamis para siswa-siswi hanya diwajibkan memakai seragam putih abu-abu. Itupun tidak ada standar rok dan celananya seperti apa. Yang penting putih dan abu-abu.
Eh, sebentar. Abu-abu yang dimaksud juga ambigu. Sebab, rok yang saya kenakan justru terlihat seperti warna biru kehijauan. Waduh!

Lalu, hari Jumat kami juga diwajibkan memakai batik. Lagi-lagi tidak ada standar. Yang penting batik. Bawahan rok atau celana yang dikenakan pun bebas. Asalkan tidak memakai celana jeans.
Tapi, pernah ada seorang teman yang dengan pedenya memakai jeans ke sekolah. Dasar, gumam saya ketika itu.

Karena tidak ada aturan, para siswa dan siswi kerap "memantaskan dirinya" agar terlihat berbeda danfashionable. Bermula dari kebebasan inilah, tercipta sebuah kasta sosial. Ya, kelihatan dong, siapa yang terlihat fashionable dan siapa yang biasa-biasa saja?

Ngomong-ngomong, siapa sih tak tidak mengenal pempek, kuliner tersohor dari Palembang? Mungkin karena sudah budaya ya, tidak sedikit keluarga yang kerap membuat pempek melalui tangannya sendiri

Macam pempek pun ada banyak. Ada pempek lenjer, adaan, lenggang, hingga kapal selam.
Dari semuanya, yang paling saya sukai adalah pempek lenggang. Pempek jenis ini sebenarnya berupa potongan pempek lenjer. Hanya cara mengolahnya saja yang berbeda, yaitu potongan pempek lenjer ini dicelupkan terlebih dahulu ke dalam telur yang sudah dikocok. Baru setelah itu, digoreng dan dibakar. Nikmat sekali dimakan selagi hangat!

Saya baru tahu, kalau orang Palembang menikmati pempek itu bukan dimakan bersama kuahnya, melainkan dengan cara dicocol! Wah, satu kebiasaan unik lagi nih.
Karena pempek sudah menjadi napas orang Palembang, maka jangan heran jika pada waktu sarapan disuguhi pempek. Padahal jika di Jogja, saya sarapan selalu –setidaknya kalau sempat sarapan ya– makan nasi.

Selama di Palembang, saya sungguh merasa beruntung. Sebagai orang Jogja tulen, seumur-umur saya belum pernah melihat secara langsung –apalagi bersalaman– dengan Sri Sultan HB X. Ceritanya, kala itu, salah satu guru di Jubel (julukan SMA Plus Negeri 17 Palembang, –red), yaitu Bapak Daryono, mengajak saya dan kedua teman saya untuk menjemput Sultan di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II.

Kedatangan Sultan ini bukan kebetulan lho! Sebab pada hari yang sama, diadakan pula Pagelaran Wayang di Griya Agung. Asyiknya lagi, semua peserta Pertukaran Pelajar juga diundang ke perhelatan akbar ini. Kompak berseragam batik hijau andalan, kami pun menjadi pusat perhatian di sana. Kami bahkan sempat berfoto dengan beberapa pejabat terpandang.

Niat menjemput Sultan inilah yang mempertemukan kami dengan Bapak Baryadi, salah satu sosok terpandang di sana. Beliau adalah Ketua Pujasuma Sumsel, sekaligus-pada saat itu-menjadi salah satu kandidat calon Gubernur Sumatera Selatan.

Bapak Baryadi pun mengundang kami ke sanggarnya yang bernama Sanggar Seni Budaya Nusantara. Di sanggar inilah, anak-anak bisa belajar menari, bermain gamelan atau menggambar. Bapak Baryadi mengatakan, melalui sanggar ini, beliau ingin sekali melestarikan budaya daerah karena saat ini para pemuda sudah mulai melupakan budayanya sendiri.
Waduh, saya jadi merasa tersindir.

Puas melihat-lihat sanggar, kami pun diajak makan malam di Bukit Golf. Acara ini pun ditutup dengan foto bersama.

Oya, selama mengikuti program ini, saya berdua dengan sahabat saya, Haris, adalah perwakilan dari SMA Negeri 11 Yogyakarta. Hanya saja dia ditempatkan di Kabupaten Ogan Ilir. Saya jadi ingat kalau dia pernah mengirimi pesan singkat WhatsApp yang –kurang lebih– berisi:

"Di sini, buka jendela aja udah liat rawa, Pay,"
"Mau pergi aja harus bawa senjata Pay, banyak rampok di sini,"
"Aku kemarin liat buaya gede banget!"

Hehehe. Pengalaman yang sungguh berbanding terbalik ya?

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Commencez à taper et appuyez sur Entrée pour rechercher