February 5, 2024

Bekerja dengan Ikhlas, Bukan Seikhlasnya

Photo by Karolina Grabowska on Pexels


Saya hanya tersenyum sinis ketika video bertajuk "Mengapa Kamu Harus Ikhlas Bekerja, Meski Gajimu Tak Seberapa" lewat di FYP TikTok. Gemas sekali rasanya melihat kita seringkali mengglorifikasi prinsip bekerja dengan ikhlas, seolah-olah kita buta dengan kenyataan yang ada. Anehnya, banyak dari kita justru mengamini hal ini, yang saya yakini, sebenarnya hanyalah untuk pembenaran aja.


Kita merasa sudah susah payah bekerja kerja, tetapi yang didapat ternyata nggak seberapa. Lalu, kita diberikan asupan-asupan kalimat toxic positivity untuk "menenangkan hati" kita. Tentu saja pelaku utama dari kengawuran ini adalah para owner yang menginginkan agar karyawan dapat bekerja maksimal meski tidak bisa memberikan upah layak. Mereka selalu menanamkan soal bekerja dengan ikhlas karena (katanya) nanti akan digantikan oleh yang rezeki lainnya. Padahal yang mereka lakukan ya demi mencari keuntungan semata. Bukan sebuah bentuk kepedulian.


Yang bikin miris, tidak sedikit orang masih salah kaprah memaknai bekerja dengan ikhlas. Orang-orang ini berpikir, jika upah yang didapatkan kurang sepadan itu wajar karena rezekinya akan digantikan dalam bentuk lain. Miris sekali membayangkan betapa naifnya kita mengharapkan "imbalan" dari Yang Maha Kuasa padahal ketidakadilan jelas-jelas terpampang nyata di depan mata.


Oleh sebab itu, saya menulis ini, sebagai reaksi saya atas kengawuran konsep bekerja dengan ikhlas. Saya tidak setuju jika konsep ikhlas justru dijadikan pembenaran atas ketidakadilan yang terjadi di lingkungan kerja. Semoga melalui tulisan ini, teman-teman bisa lebih memahami apa itu konsep bekerja dengan ikhlas yang sebenar-benarnya, ya.


#1 Ikhlas bekerja itu harus, tapi jangan seikhlasnya

Dalam konteks pekerjaan, bagi saya, bekerja dengan ikhlas itu jika bekerja diniatkan sebagai ibadah. Apa yang kita kerjakan diniatkan untuk mendapatkan keridhaan-Nya, bukan untuk pamer atau cari muka dengan atasan. Bekerja dengan ikhlas juga berarti bertanggung jawab dengan pekerjaannya, sehingga memunculkan rasa kepemilikan dalam bekerja. Jika rasa kepemilikan ini sudah muncul, maka output kerja yang dihasilkan pun tentu akan lebih maksimal.


Namun, jangan jadikan konsep bekerja dengan ikhlas sebagai bentuk menghamba kepada pekerjaan. Kita merasa bekerja keras hingga di luar jam kerja, padahal kita tahu tidak ada upah lembur di dalamnya. Kita sudah berupaya mencapai target sales, tapi ternyata capaian itu tidak diberikan apresiasi yang setimpal. Kita bekerja mati-matian dari pagi sampai malam, tapi ternyata upahnya tetap tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari dan justru malah kehilangan waktu bersama keluarga. Kata gue teh, ini mah bukan bekerja dengan ikhlas lagi, tapi sudah bekerja seikhlasnya.

Konsep bekerja ikhlas itu tidak salah, tetapi kita juga harus bisa rasional dengan tidak pasrah gitu aja ketika diberikan beban kerja tidak sebanding dengan usaha yang dikerjakan. Kita berhak mendapat upah dan apresiasi yang sepadan, bukan cuma diiming-imingi untuk bersyukur karena masih punya pekerjaan.

#2 Hubungan antara pekerja dan pemilik itu saling membutuhkan

Hubungan antara pekerja dan perusahaan itu transaksional. Kita bekerja untuk mendapatkan upah agar bisa hidup, sedangkan perusahaan membutuhkan jasa kita untuk menjalankan bisnisnya sehingga mereka wajib memberikan upah. Hubungan ini seharusnya menjadi hubungan yang setara karena sama-sama saling membutuhkan. Namun, owner perusahaan seringkali mengglorifikasi bahwa pekerjalah yang membutuhkan perusahaan karena butuh uang. Padahal kalau tidak ada karyawan atau karyawan melakukan aksi mogok, mereka juga tidak akan bisa menjalankan bisnisnya, tuh.

Salah kaprah lainnya adalah jika kita bekerja seadanya, malas-malasan atau asal-asalan maka akan dianggap sebagai utang. Bentar, atas dasar apa kita bisa memutuskan seseorang bekerja dengan malas-malasan atau asal-asalan? Apakah jika kita hanya bekerja sesuai dengan jobdesc yang disepakati akan dianggap malas? Apakah jika kita bekerja on time nine to five juga dianggap sebagai asal-asalan?

Kenyataannya, konsep utang dalam pekerjaan ini seringkali menjadi alasan bagi owner untuk menindas pekerja. Owner akan selalu memikirkan bagaimana caranya agar pekerjanya bisa memberikan output maksimal. Mereka akan menanamkan perasaan bersalah atau playing victim jika pekerjanya bekerja biasa-biasa saja. Seolah-olah antarkaryawan saling diadu dan dikompetisikan agar bisa bekerja semaksimal mungkin untuk menguntungkan diri mereka sendiri.

Bagi saya, tidak ada yang salah jika seorang pekerja memutuskan untuk menjadi biasa-biasa saja selama tugas dan tanggung jawabnya telah terpenuhi. Jika memang ada pekerja yang betul-betul dianggap malas dan asal-asalan, sehingga merugikan yang lain, kenapa tidak diberikan sanksi sesuai kesepakatan alih-alih memanipulasi perasaan pekerjaan yang lain?

#3 Bekerja melebihi tugas itu bukan untuk menabung entah apa, tapi tetap harus ada apresiasi nyatanya

Saya heran sekaligus penasaran dengan motivasi toxic positivity yang selalu menganjurkan pekerja—selain bersyukur—untuk mengambil hikmah dari banyaknya pekerjaan yang mereka lakukan. Katanya, jika kita ingin menambah value, tidak ada salahnya untuk bekerja lebih keras meski belum tentu dihargai. Katanya, nanti akan digantikan oleh rezeki dan nikmat lainnya, meski kita juga tidak tahu entah apa wujudnya.

Memang tidak ada salahnya jika giving the extra miles, tetapi dengan catatan, hal itu dilakukan atas kehendak sendiri. Menurut saya, setiap apapun yang kita lakukan untuk pekerjaan, seharusnya ada imbalan yang setimpal. Kita memang harus perhitungan dalam bekerja, karena hal itulah yang akan menentukan value kita sendiri. Jika kita terbiasa "ikhlas" atas pekerjaan, alih-alih menaikkan value, yang ada perusahaan justru makin tidak menghargai karena kita dianggap royal memberikan usaha dan tenaga kita secara cuma-cuma.

Sudah saatnya kita berhenti untuk bersikap terlalu baik. Ingat, pekerja dan perusahaan adalah hubungan yang transaksional. Sudah seharusnya kita mendapat imbalan setimpal dari apa yang sudah kita kerjakan. Toh, perusahaan sudah mendapatkan keuntungan dari pekerjaan yang kita lakukan. Jadi, kenapa mesti kita harus rela "menabung" yang akan menguntungkan salah satu pihak doang?

Saya percaya rezeki kita sudah diatur. Rezeki juga bisa datang dari mana saja, tidak hanya terpaku pada pekerjaan. Namun, ikhlas itu cukup berhenti pada niatmu saja. Jangan berlindung pada kata "ikhlas" hanya untuk pembenaran di atas ketidakadilan yang sedang dialami. 

Know your value and you will get more your worth.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Commencez à taper et appuyez sur Entrée pour rechercher