Foto: dokumen pribadi |
Menjadi perempuan berarti harus siap menghadapi ketidaknyamanan. Entah ketidaknyamanan di tempat umum, di lingkungan pertemanan, di tempat kerja, relasi antarmanusia bahkan menjadi perempuan itu sendiri. Ketidaknyamanan seolah-olah sudah menjadi sahabat karib seorang perempuan, yang mau tidak mau harus diterima dan tidak tahu harus mengadu kepada siapa.
Membaca kumpulan cerpen Bagaimana Cara Mengatakan Tidak? membuat saya menyadari satu hal penting: betapa kenyamanan adalah kemewahan bagi sebagian orang—dan sayangnya sebagian orang ini mayoritas adalah perempuan. Cerita-cerita yang dibangun tidak hanya menggambarkan realitas saja, melainkan juga memunculkan rasa "tidak nyaman" yang bisa dirasakan oleh pembaca. Sebut saja; Mati Lampu, Cerita dari Sebelah Masjid Raya, Peri Gigi, Pengantar untuk Kunjungan Rutin ke Jalan Kakap, Pada Hari-Hari Libur Nasional, Orang Asing, Cerita dari Cot Panglima, Kubus Hitam, Kamar Mandi, Cerita dari Belakang Wihara dan Bagaimana Cara Mengatakan “Tidak”? yang sama seperti judulnya.
Raisa Kamila begitu apik menggambarkan konflik-konflik yang membuat tidak nyaman—seperti peralihan rezim hingga hubungan toxic—dengan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan sudut pandang perempuan maupun anak-anak. Penggambaran suasana yang "mencekam" dengan tokoh yang kerap terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, membuat buku ini memiliki daya tarik tersendiri.
Salah satu cerita yang cukup membekas di benak saya adalah Bagaimana Cara Mengatakan “Tidak”?. Sesuai dengan judulnya, cerita ini merupakan gambaran ketidaknyamanan yang dialami perempuan akan pemerkosaan. Meski bukan korban, tetapi trauma terus membayangi hidup sang tokoh utama karena sedari kecil ia selalu dikelilingi dengan cerita pemerkosaan. Mulai dari teman SDnya yang ditemukan meninggal setelah diperkosa tukang bangunan—dan membuatnya harus memakai celana pendek di balik rok seragamnya—hingga seorang teman baiknya yang diperkosa oleh pelatih debat bahasa Inggris di SMA.
Membaca kisah ini seolah diingatkan bahwa pemerkosaan bukan terjadi karena rendahnya moral atau nafsu birahi, melainkan relasi kuasa yang timpang. Menurut Susan Brownmiller dalam buku Against Our Will: Men, Women, and Rape (1975), pemerkosaan adalah proses intimidasi yang dilakukan secara sadar oleh laki-laki kepada perempuan. Tujuannya, agar perempuan terus berada dalam ketakutan.
Raisa Kamila secara gamblang menggambarkan pemerkosaan yang terjadi dalam pernikahan. Sang tokoh utama sempat mengira bahwa ketakutannya akan pemerkosaan akan sirna setelah menikah sebab ada suami yang akan melindunginya. Namun, ia tetap saja merasa cemas dan sulit menolak ajakan suaminya untuk bersetubuh setiap hari karena takut dianggap durhaka. Saya yakin, ketakutan yang dialami tokoh utama ini pun dialami oleh perempuan lain di luar sana.
Selain itu, penulis yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Leiden, Belanda ini juga mengkritisi pergolakan politik di Aceh yang ia anggap lebih banyak menyudutkan kaum perempuan. Salah satu kritiknya adalah Cerita dari Sebelah Masjid Raya. Secara garis besar, cerita ini mengisahkan tentang pengalaman seorang anak perempuan tukang pangkas rambut yang mesti mematuhi kewajiban mengenakan jilbab. Kisah ini merupakan gambaran nyata tentang kebebasan perempuan yang direnggut akibat perubahan tatanan sosial dan politik di Aceh.
Hal ini tergambar melalui percakapan ayah dengan anak perempuan tersebut.
Ayah merogoh saku kemejanya dan berbicara agak pelan, “Kau tahu segala hal di sekitar akan berubah saat kau bahkan tidak bisa memilih potongan rambut yang kau suka. Dan suka atau tidak, yang bisa kau lakukan hanya melindungi kepalamu sendiri.” Ayah lalu menyodorkan beberapa helai uang padaku. “Lebih baik beli saja satu atau dua jilbab, untuk jaga diri,” tambahnya lagi. (halaman 23)
Well, ketidaknyamanan yang saya rasakan ketika membaca buku setebal 142 halaman ini memang cukup beralasan. Sebab, pengalaman sebagai perempuan memang tidak mudah. Apalagi menjadi perempuan yang sehari-harinya hidup tanpa memiliki kebebasan untuk berkata tidak.
Post a Comment