November 28, 2017

Tentang Selingkuh dan Stigma Pelakor di Sekitar Kita

Pict by: shutterstock

Sejujurnya, beberapa tahun belakang, saya sudah terbiasa tidak menatap layar kaca televisi. Alasannya, tidak ada acara asyik dan menarik. Lebih asyik membaca buku. Namun tetap saja, untuk urusan informasi, dari soal berita hingga infotainment, saya selalu bisa mengandalkan media sosial. Utamanya Twitter dan sesekali Instagram.

Saya bukanlah penikmat berita hiburan, showbiz, selebriti atau apapun sebutan yang dialamatkan kepada berita yang menyangkut kehidupan para pesohor jagad hiburan Tanah Air. Saya pikir, saya hanya terlalu cuek untuk sekadar mengurusi urusan yang bukan jadi hak saya. Lagi pula, menikmati berita semacam itu ternyata nggak baik juga untuk kesehatan mental saya.

Namun, belakangan ini, saya jadi risih ketika di media sosial  beredar kabar perselingkuhan yang melibatkan artis Jennifer Dunn dan Faisal Harris, seorang pengusaha properti. Bahkan kabar ini makin memanas ketika sebuah video yang memperlihatkan Shafa Harris, putri ketiga Faisal Harris, tengah melabrak ‘selingkuhan’ ayahnya, diposting oleh salah satu akun ghibah ternama di Instagram. Dalam video tersebut, Shafa terlihat mendorong Jennifer Dunn sampai hampir tersungkur. Ia juga tak segan-segan berkata kasar, bahkan berteriak kalau dirinya sangat membenci Dunn karena telah merebut ayahnya.

Beberapa tahun silam, mungkin nama Mulan Jameela sama terkenalnya dengan Jennifer Duun. Alasannya, karena waktu itu ia dinikahi oleh Ahmad Dhani setelah yang bersangkutan bercerai dengan Maia. Walhasil, nama Mulan pun banyak dihujat dan dicaci. Bahkan Mulan sendiri memiliki akun haters yang followersnya mencapai 300 ribuan orang. Tak hanya itu saja, cerita perselingkuhan juga menghangat kembali ketika muncul pula surat terbuka yang ditujukan kepada ‘perempuan terduga selingkuhan’ dalam sebuah blog pada Maret 2017.

Postingan ini pun menjadi viral di berbagai media sosial. Bahkan sebuah akun ghibah di Instagam turut mempopulerkan tagar #PerangiValakor yang isinya berupa foto-foto perempuan terduga selingkuhan dari para followersnya. Gimana nggak makin rame tuh akunnya? Isinya saja kebanyakan adalah cacian, hujatan, dan kata-kata paling pedas yang ditujukan kepada perempuan-perempuan yang dituduh sebagai selingkuhan pasangannya. Waduh!
Kalau dulu Anda menonton sinetron Catatan Hati Seorang Istri, pasti Anda juga tidak asing kan dengan tokoh Karin? Tokoh Karin ini dianggap sebagai “orang ketiga” di dalam pernikahan Mas Bram dan Mbak Hana. Sebagai penonton—saya tahu kok rasanya—pasti akan gemas sekali melihat tingkah laku Karin yang ‘tidak tahu diri’ dan menyebalkan. Tanpa sadar, sumpah serapah pun kerap dilontarkan kepada tokoh yang diperankan oleh Cut Meyriska ini. Seolah-olah, ingin sekali bilang kepada sutradaranya, matikan saja tokoh Karin!

Saya dapat menyimpulkan bahwa baik Jennifer Dunn, Mulan Jameela maupun Karin, ketiganya mendapat predikat sebagai “pelakor” yang disematkan oleh warganet terhomat. Namun di sisi lain, saya jadi bertanya-tanya sekaligus kesal. Mengapa istilah “pelakor” atau perusak rumah tangga orang hanya dialamatkan kepada perempuan lain yang dituduh melakukan perselingkuhan saja? Padahal ada juga laki-laki yang berpacaran dengan istri orang. Laki-laki juga bisa memiliki affair, kan?

Saya bisa pahami, kalau rusaknya hubungan—asmara dan juga keluarga—seringkali dikaitkan dengan orang ketiga. Dari situlah muncul istilah “pelakor” atau perebut laki orang—beberapa menyebut perusak rumah tangga orang. Istilah ini seringkali ditujukan pada perempuan yang diduga berselingkuh dengan suami atau kekasih dari perempuan lain.

Namun, bukankah perselingkuhan terjadi karena ada dua pihak yang terlibat? Tidak selalu laki-laki yang ‘kepincut’ perempuan lain. Ada juga perempuan yang memutuskan untuk ‘pindah ke lain hati’. Namun agaknya masyarakat masih saja menyalahkan pihak perempuan. Seolah-olah perselingkuhan itu diciptakan oleh satu pihak saja—dalam hal ini adalah perempuan. 

Ketika seorang istri berselingkuh dan meninggalkan suaminya karena laki-laki lain, maka perempuan tersebut pasti akan diberi predikat ‘tidak setia’. Sayangnya, ketika pihak laki-laki yang beralih ke hati perempuan lain, sebagian besar predikat perusak rumah tangga orang akan dialamatkan kepada perempuan tersebut. Predikat laki-laki tidak setia justru jarang—atau tidak pernah sama sekali—terangkat ke publik.

Baca juga: Salah Kaprah Memaknai Poligami dan Sikap Diam Perempuan

Mirisnya lagi, tidak jarang pihak perempuan yang menjadi korban—dalam hal ini istri atau kekasih yang dikhianati—sering disalahkan karena menjadi penyebab suami atau kekasihnya berpaling kepada perempuan lain. Dibilang nggak bisa jaga suami lah, nggak becus ngurus rumah lah, terlalu sibuk lah, dan sebagainya.

Ribut-ribut soal menyalahkan pihak perempuan dalam kasus perselingkuhan ini menandakan kalau bias gender masih sering terjadi di sekitar kita—dan mirisnya justru perempuan lah yang  kerap menyalahkan sesama perempuan. Bias gender ini memang sudah mengakar di dalam masyarakat yang kemudian membentuk stigma dan stereotip mengenai sosok perempuan. Bahwa perempuan itu harus bersikap manis, baik, dan penurut, sesuai dengan anggapan masyarakat.

Sekali lagi, perselingkuhan itu terjadi karena dua pihak aktif yang saling berhubungan. Jadi, plis deh, berhenti menyalahkan perempuan sebagai penyebab utama perselingkuhan. Lagipula, suatu hubungan itu bukanlah hak milik atau properti yang sewaktu-waktu bisa diambil atau dicuri. Menjalin suatu hubungan adalah pilihan dan didasari atas rasa sadar, sehingga pihak yang terlibat lah yang membuat keputusan dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut.

Perselingkuhan itu bukan hanya kesalahan pihak ketiga saja. Malah sangat dimungkinkan merupakan kesalahan pasangan itu sendiri.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Commencez à taper et appuyez sur Entrée pour rechercher